PELANGI SENJA

By_ Naila Mohammed
Member Of CSSMoRA

Sorot terang purnama memancar tajam di setiap sela kehidupan di bumi. Kunang-kunang menari ceria seakan tiada duka. Mata sayuku menatap dengan senyum cemburu, berharap bisa terbang bebas seperti mereka. Aku berjalan terseok menuju penjara kehidupan. Badanku lemas mendayu, kepalaku sakit tak tertahankan. Didepan rumah, tampak Abi berjalan mondar-mandir menanti kedatanganku. “Anak itu benar-benar keterlaluan. Mau jadi apa anak perempuan tengah malam gini belum pulang.” Bualan kemarahan Abi yang tak hanya sekali dua kali ku dengar. Tiba-tiba ia batuk-batuk, kemudian terjatuh. “Abi kenapa Bi? Kita tunggu Keysha didalam aja ya?” Umi menuntun Abi masuk ke gubuk penjara itu. “Abi kenapa Mi?” Adikku kaget melihatnya terbaring lemah tanpa kata. Suasana gundah terpecahkan setelah kedatanganku. Semua mata menatapku tajam, tapi mataku hanya terarah pada sosok pria tua yang mengarahkan jari telunjuknya padaku. “Dari mana kamu? Anak tidak tau diri.” Tanya Abi dengan nada tinggi. “Bukan urusan Abi.” Tak ku hiraukan makian itu. Kakiku melangkah pergi menuju ruang tempat ku terbiasa seorang diri.

Hidup ini begitu rapuh bagiku. Seakan tiada gairah untukku bertahan. Tiap kali ku coba tepiskan prasangka buruk dalam relung, kecewaku selalu lebih kuat hancurkan harap. Bagaimana aku tak hancur? Mereka yang selalu menjadi malaikat pelindungku saat ku tertatih, tak lagi peduli dengan setiap dukaku yang melirih. Bahkan mereka tak pernah tahu akan rasa sakit yang ku derita. Betapapun aku rindu akan pelukan tangan-tangan hangat itu, aku tak berdaya tuk mengungkapkannya. Keras suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. “Kak, buka pintunya! Kakak tega banget sih bikin Abi makin sakit? kapan sih kakak bisa bikin Abi sama Umi seneng?” Lidahku terkaku tanpa suara. Lia beranjak berlalu dengan puncak emosinya. Kepalaku menggerutu kesakitan. Ku rebahkan hati menangkis pikiran yang amat mengganggu. Perlahan jiwaku terbang ke alam damai yang semu.

Sapaan panas mentari menerobos celah-celah jendela kamar. Mataku terbuka pelan. Ku rasa ada yang berbeda di pagi ini. Hadir kegelisahan yang tiba-tiba singgah mengusik hati. Ku langkahkan kaki menuju luar ruangku. Suara isak tangis tampak meramaikan suasana di depan sana. Tampak gadis berpakaian serba hitam melangkah mendekatiku dengan air mata duka. Tiba-tiba ia menamparku. “Puas Kakak? Dasar Pembunuh!” Kata-katanya sungguh menyayat kalbu. Serasa jiwa ini tersungkur remuk penuh penyesalan. Ku banting pintu kembali ke ruang peraduan. Embun-embun penyesalah mulai membasahi pipiku. Besar rasa benciku padanya tetap terkalahkan dengan ketulusan rasa sayang. Aku memang telah lama kehilangan sosoknya sebagai seorang ayah. Tapi diriku baru tersadar, bahwa sungguh aku belum siap kehilangannya dari pandangan nyataku. Kata-kata Lia masih melayang jelas di pikiranku. Hatiku menjerit “Aku bukan pembunuh.” Aku berlari menuju jenazah Abi. Diriku tertatih dalam peluknya. Ku tumpahkan rasa rindu ini sedalam-dalamnya. Namun tiada guna ku sesali semua. Tangisku tak kan membawanya kembali.

Seminggu sudah rumah ini sepi tanpa gema. Tak pernah ku sangka aku kan merindukan kemarahannya. Aku hanya diam terpuruk dalam luka penyesalan. Umi mendekatiku. Ia mulai angkat bicara menyampaikan amanah dari Abi sebelum kepergiannya, Abi ingin aku menimba ilmu di samudera tempat ia belajar dulu. PP Bahrul Ulum Bekasi. “Aku nggak mau.” Jawabku seketika. “Kalau kamu menolak, berarti kamu ingin Umi segera menyusul Abi secara perlahan Key, Umi lelah. Pikirkan itu!” Umi beranjak meninggalkanku. Pikiranku kacau tak karuan. Aku tak bisa mudah berpaling dari dunia kelamku. Akhirnya ku putuskan untuk menuruti kemauan Umi. Ku harap Abi mengerti bahwa aku berusaha membuatnya bahagia. Rabu pagi menjadi awal sejarah baru dalam duniaku. Sampailah aku di samudera ilmu, tempat baru memulai mengukir mimpi, berburu tujuan pasti. Suasana yang amat asing menyambutku. Tampak banyak mata sinis menatapku.

Waktu terus berjalan mengiringi siang dan malam. Tiga hari sudah. Teman-teman masih tampak banyak yang enggan untuk mendekatiku. Style penampilan tomboy, rambut semir pirang dan kebiasaanku meninggalkan aturan pesantren, tentu tampak aneh di lingkungan religi seperti ini. Tapi aku sungguh tak peduli. Biarkan duniaku berjalan mengalir mengikuti arus. Berat bagiku untuk merubah semuanya. Tiada lagi alasan untukku terus berjuang. Mimpi-mimpiku mulai memudar. Aku telah hancur oleh penyesalan. Sore itu, aku duduk merenung di taman pesantren seorang diri, memandangi pesona senja. Tiba-tiba ada yang datang menepuk pundakku dari belakang. “Hey, ngapain sendirian disini Key?” Tanya Chaca tampak hanya sekedar basa-basi. Aku hanya melihatnya sekejap, lalu mengalihkan pandangan darinya. Aku tak menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba ia mengoceh “Kamu lihat pelangi itu?” ia mengarahkan jarinya menunjuk pelangi yang mengukir senyum di langit. “Senja itu indah, tapi tak semua orang suka dengannya, karena menganggapnya sebagai awal datangnya mala petaka di gelap malam. Namun dengan datangnya pelangi itu, seseorang tak akan lagi memikirkan gelap yang akan mengiringi senja, hanya melihat mereka sebagai dua keindahan dunia yang melebur satu.” Aku sesekali memandangnya heran tanpa kata. “Hidup ini harus berlanjut. Jadilah pelangi itu Key! Aku melihat kebaikan yang tulus dalam pandangan matamu. Tiap kali kamu berbuat salah, aku melihat matamu mengingkari apa yang kau perbuat. Aku yakin, di hatimu ada keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Masih banyak orang yang menanti pesona indahmu Pelangi, itu adalah pilihan.” Dia tersenyum dan melangkah pergi.

Aku mulai merenungi bualan penuh makna yang di lontarkan Chaca. Ada sejuta harapan yang ingin ku persembahkan kepada orang-orang yang ku cinta, tapi aku selalu berpikir bahwa segalanya akan sia-sia bila ku perjuangkan, karena hanya maki yang selalu ku dapatkan, bukanlah sebuah penghargaan. Aku mengerti. Hidup ini tak akan memuaskan bila aku hanya mengharap penghargaan dari mereka. Aku hanya butuh berjuang untuk diriku sendiri. Kembali melukis warna baru untuk duniaku yang sempat terhenti. Ku beranikan diri tuk memilih, bangun dari jiwaku yang terpuruk. Memulai cerita baru. Mengukir langkah pasti. Aku datang menemui Chaca, memintanya untuk membawaku menjadi pelangi, dia pun menerimaku dengan senyum bangga. Kami selalu belajar bersama. Sampai akhirnya sampailah kita di masa-masa ujian pesantren. Kali ini aku tak ingin mengganggunya, tentu ia sendiri butuh konsentrasi dengan belajarnya, dan aku masih terus mencoba melawan lelahku untuk belajar.
Sampailah aku di masa ujian pesantren. Dengan yakin ku kerjakan setiap fan ilmu yang di ujikan. Ku serahkan semuanya pada Allah. Aku yakin, Dia akan membiarkan aku menuai hasil yang sesuai dengan yang ku usahakan. Seminggu berlalu. Semua santri bersiap menuju aula pesantren menanti pengumuman kelulusan dan nominasi santri terbaik. Aku duduk di kursi paling belakang. Aku sibuk mencari keberadaan Chaca, tiba-tiba aku terkagetkan dengan panggilan dari pengeras suara kepada “Keysha Husain” sebagai santri terbaik kelas II Diniyah. Tak karuan senang perasaan ini. Sempat terpikir tak percaya dengan apa yang ku dengar. Riuh suata tepuk tangan itu menjadi stimulus semangat dalam diri. Tiba-tiba aku terjatuh, kepalaku sangat sakit. Semua berlalu begitu saja.

Titik cahaya terang merangsang mataku berkedip pelan. tampak Umi dan Lia duduk disampingku. “Boleh umi memeluk kamu?” Spontan Umi menangis memelukku. “Bagaimana bisa kamu menyembunyikan sakitmu dari Umi Key?” Tanyanya dengan mata berlinang. “Aku nggak ingin liat Umi nangis.” Jelasku. “Umi bangga sama Kamu.” Air mata bahagia menghiasi senyumku. Tampak Chaca datang membawa bunga untukku. “Lihat siapa gadis hebat yang cengeng ini.” Mataku beralih padanya. “Terima kasih Cha.” Ia tersenyum. Mulai saat itu, aku berjanji, tak akan ada lagi Aku yang yang terpuruk dengan masa lalu. Hanya ada diriku yang baru, aku yang selalu menjadi pelangi untuk masa depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16