HUJAN DI BULAN NOVEMBER
HUJAN
DI BULAN NOVEMBER
Hujan amat deras mengguyur kota bandung, tak
menyisakan berkas berkas pengasihan kepada penduduk yang hendak beraktivitas.
Rere yang menatap butiran-butiran hujan dari jendela kamarnya menjadi pilu,
sembari mendengar berita ditelevisi yang membuat hatinya semakin pilu.
“telah
terjadi kecelakaan bus yang menewaskan tiga puluh penumpang dan dua puluh lainnya
luka-luka. Diduga kecelakaan ini disebabkan oleh hujan yang tak kunjung
berhenti sejak pukul sembilan malam”
“kecelakan
lagi re ?” tanya wanita paruh baya yang baru saja masuk kekamar Rere dan
mengecilkan volume TV.
“entahlah
nek.” Jawab Rere datar. Ia kembali menatap butiran butiran hujan yang menempel
pada jendela kamarnya, Memperhatikan ketika mereka perlahan meluncur dari kaca
jendela lalu jatuh ketanah.
“sudah
nenek siapkan mantel di meja tamu jangan lupa dibawa. Ini november, hujan akan
terus turun.” Ucap nenek yang perlahan meninggalkan Rere sedirian dikamarnya.
Rere
menghela nafasnya, mulai menerka-nerka apa yang akan terjadi dibulan november
tahun ini. Ingatannya kembali ke sepuluh tahun silam. Ketika usianya menginjak
delapan tahun, ketika tawanya begitu nyaring terdengar. Didalam sebuah mobil
sedan putih bersama kedua orang tuanya. Saat itu sedang hujan, ya hujan. Hujan
yang amat deras dijalanan ibu kota jakarta. Namun terlalu bahagianya Rere
kecil, ia tidak sadar bahwa saat itu hujan. Yang ia tahu ia akan berlibur
bersama kedua orang tuanya. Tanpa disadari, hujan yang semakin deras itu
membuat jalanan licin dan menggelincirkan mobil yang tengah mereka kendarai.
Kejadian yang takkan pernah ia lupakan, dimana Rere melihat darah mengalir
deras ditubuh kedua orang tuanya. Rere amat mengingat bagaimana sang ibu
memeluknya demi menyelamatkannya. Jika saat itu Rere bisa memilih, ia akan
memilih pergi bersama kedua orang tuanya. Ia tidak ingin sendiri seperti saat
ini. Hujan benar benar merampas harta yang paling berharga bagi Rere yaitu
kedua orang tuanya. Tapi Tuhan masih menyayanginya, setelah kecelakaan itu,
Rere di asuh oleh sang Nenek yang hidup sendirian dibandung. Sehingga Rere
harus pindah sekolah dan melupakan setiap kenangannya baik manis maupun pahit
dijakarta.
“Re.... nanti telat sekolahnya” seru
sang Nenek.
Rere
menghentikan kenangannya dan segera melangkah pergi dari sisi kamarnya. Memakai
mantel dan berharap tak ada setitik air hujan dibulan november ini yang
mengenainya.
“Payung
Kak.....” ujar seorang pemuda yang membuat Rere mendongak keatas.
“kau
tak lihat aku sedang memakai mantel..? kenapa masih menawariku payung ?” tanya
Rere sinis. Ia segera meninggalkan pemuda yang menawarkan payung kepadanya.
Sesampainya
di sekolah, Rere segera melepaskan Mantelnya dan menaruhnya di teras kelas. Ia
terlambat, ibu siska sudah masuk. Ia menengok jam tangannya.
“oh
my God, Jam setengah sembilan. Ini semua karena hujan” ucapnya.
Rere
memutuskan untuk tidak langsung masuk kedalam kelasnya, ia enggan menghadapi
omelan ibu Siska yang pasti akan membuat telinganya panas. Rere berjalan menuju
kantin memesan bakso dan segelas teh panas.
“Neng
Rere nggak masuk kelas” tanya ibu kantin
“biasa
bu... telat” jawab Rere. Ibu kantin hanya tersenyum. Ia amat hafal dengan
kebiasaan pelanggan setianya ini, di setiap hujan November ia akan selalu
terlambat. bahkan pernah hingga sebulan penuh Rere terlambat.
Rere
menikmati aroma tanah yang melebur bersama dinginnya hujan. Rere memandangi
pagar depan sekolahnya. Jendela kantin memang sangat luas, ia bisa melihat
jalanan raya depan sekolahnya sekaligus. Rere memperhatikan sosok pemuda yang
berdiri memegang payung, menawarkan tiap-tiap pejalan kaki. Rere seperti pernah
melihatnya, Ah.... pemuda yang menawarkan payung kepadanya sebelum ia berangkat
kesekolah.
“Menyebalkan”
gumamnya.
Setelah
bel istirahat. Rere memutuskan kembali ke kelas dan berada didalamnya hingga
bel pulang. Hari-hari menjadi membosankan ketika hujan bagi Rere. Hari inipun
ia malas untuk menyimak pelajaran. Padahal sebentar lagi Rere akan mengikuti
ujian semester ganjil ditahun ketiga.
“Re....mau
nebeng kita nggak ?” tanya Nia
“
ia.. soalnya ini hujan deras banget. Sayangkan.. kalau loe jalan” timpal via
“kalian
duluan aja aku bawa mantel kok” jawab Rere
“ok,
duluan ya...” ucap Nia. Rere hanya tersenyum....
Rere
menengok teras kelasnya, ia mencari-cari mantel yang seingatnya ditaruh didepan
kelas. Rere bahkan memutari seisi kelas dan teras kelas. Bahkan tong sampah
didepan kelas tak luput dari targetnya.
“cari
apa neng ?” tanya OB sekolah
“Bapak
lihat mantel warna kuning didepan kelas nggak pak ?” tanya Rere
“Nggak
neng. Dari tadi nggak ada mantel didepan kelas. Bapak permisi dulu ya neng”
“iya
pak terima kasih”
Rere
begitu cemas, ia takkan pulang jika hujan tak mereda. Neneknya pasti akan
sangat khawatir. Apalagi beliau tahu Rere sangat benci hujan dibulan November.
“Payung
kak...” tawar seorang pemuda. Rere menoleh kearahnya.
“kamu
lagi....”ujar Rere.
Ia
ingat betul pemuda ini, pemuda yang menawarinya payung pagi tadi, dan yang dilihatnya
di depan gerbang sekolah. Pemuda itu hanya tersenyum
“nama
saya haikal kak” haikal menjulurkan tangannya. Rere enggan membalas. “karena
kakak nggak bawa mantel makanya saya tawarin” lanjutnya.
“jangan
panggil saya kakak. saya yakin kamu lebih tua dariku.” Larang Rere. Haikal
hanya tersenyum
“Mari
kak saya antar. “
“kamu
menjual payung tapi kenapa nggak pakai payung...?” tanya Rere keheranan melihat
pemuda yang telah basah kuyub disebelahnya sembari memegangi payung untuknya.
“Karena
saya suka hujan apalagi bulan november.”
Rere
mengerutkan dahinya. Mengapa haikal bisa memiliki antonim dari sisi dirinya.
“Ayahku
meninggal dibulan November saat bekerja sebagai kuli bangunan. Ibuku menjadi
seorang janda. Ia menghabiskan sisa hidupnya untuk menghidupiku sebagai anak
tunggal. Dan menutup usia di bulan November tiga tahun silam karena penyakit
TBC. Aku menjadi anak yatim piatu, yang tinggal dirumah kecilku sendirian.
Setelah setahun ibuku meninggal, aku dikeluarkan dari sekolah karena selalu
terlambat membayar uang bulanan sekolah. Dari situ, aku memutuskan bekerja
sebagai tukang sol sepatu, kemudian pedagang asongan, dan baru sehari ini
menjadi ojek payung.” Haikal mengakhiri kisahnya dengan senyuman.
Rere
termenung medengar kisah itu, ia membayangkan betapa pedihnya menjadi seorang
Haikal. Meski terkesan blak-blakkan dan sok kenal. Karena baru kenal sudah
bercerita seperti ini. Rere jadi sadar bahwa bukan hanya dirinya yang mengalami
kemalangan. Masih banyak yang mengalami kemalangan lebih dari dirinya.
“Lalu
kenapa bisa kau menyukai hujan ?” tanya Rere.
“Karena
setiap pemakaman baik ayah dan ibuku, hujan selalu menemani. Aku berfikir bahwa
langit ikut bersedih akan kematian keduanya. Langit pasti ikut bersedih
bersamaku. Setidaknya aku merasa beban kesedihan ini takku tanggung sendiri”
jawab Haikal
Rere
semakin terhanyut atas jawaban Haikal, sosok yang benar benar ikhlas atas
setiap keputusan Tuhan. Sosok yang dapat menerimanya dengan kelapangan Dada.
Tidak seperti dirirnya yang menghakimi Tuhan atas apa yang menimpanya. Sehingga
ia amat membenci hujan yang jatuh dibulan november. Dan rasanya, ini adalah
teguran Tuhan atasnya melalui Haikal. Melalui kisah-kisah Haikal yang baru
beberapa menit lalu di Kenalnya. Bahwa hujan tak selamanya membawa kebencian.
Hanya saja, dari sudut pandang apa kamu memaknai hujan.
“Haikal,
besok sepulang sekolah. Tunjukan aku rasanya hujan dibulan november. Dingin
seperti es kah.. atau justru panas melebihi api neraka.” Ajak Rere ditengah
rintikan hujan.
Udah november aja kak 😂
BalasHapusHujan di bulan biru tiada yang mengganggu.. Hujan di atas pelangi hanya kita berdua dududu
BalasHapus