Sepenggal cerita di Tanah TPA " Yasin untuk Ririn"

Oleh : Penyair Gethuk

"Yasin untuk Ririn"
Da.. Dakhola..
Badata..
Na.. Naroo.. Naroka..
Suara si kecil, Daffa namanya, lelaki kecil kelas 2 SD mengeja hijayyah.
Sesekali lirikannya menatap ke wajahku, menyiratkan pesan, "benar gak kak?"
Perlahan mataku menyapu seluruh anak itu, bersemangat membaca Iqra, pedoman belajar alquran, yang sudah lusuh, buluk, tak berbentuk.
Namun isyarat semangatnya, mengalahkan buluknya kitab itu.
"Nak, tolong ajari anakku."
Seorang ibu berbaju batik berkerudung lusuh membisikku.
Tetiba dia hadir disampingku, sedang anak gadisnya, kelas 3 SD mungkin, tertunduk malu di daun pintu.
"Oh, tentu saja bu, insyaAllah semua diajari disini." jawabku sekenanya.
"Harus bisa yaa nak, harus bisa sampai baca yasin."
Tatapnya tajam penuh harapan.

"Ehmm, mengapa hanya yasin bu?"
"Kalau tak bisa baca yasin, siapa yang akan mendoakanku ketika mati nak?".
Suaranya bergetar, seolah seluruh alam mengutuk. Menghakimi dengan berbagai tuduhan.
"Setidaknya dia yang akan mengantar ibu menuju surga, menerangi kubur ibu nak."
"Anak ibu hanya 1?"
"4 nak."
"Wah yang lain sudah bisa baca Al-Quran bu?" tanyaku sekenanya.
"Tidak nak, anakku yang pertama hingga ketiga sibuk kerja dan tak sempat belajar agama."
Sekarang beliau tak berani menatapku. Tangannya keriput, memegang ujung lutut. Bersambut isak tertahan.
"Baik bu, berikan saya waktu untuk mengajari."
Sembari itu mataku beradu dengan jam tangan lusuh, melihat penanggalan dan gerak jarum jam. Menghitung perkiraan waktu yang dibutuhkan Ririn untuk belajar yasin.
"Pokoknya saat ibu meninggal, dia harus sudah bisa baca yasin yaa nak?"
Tatapan mata penuh harap seorang ibu. Luluh. Trenyuh. Sesak seluruh dadaku.
"Memangnya ibu ini sudah tau kapan akan meninggal? Kalau aku tak mampu mengajarinya tepat waktu bagaimana? Kalau besok pagi maut mengetuk pintu ibu ini bagaimana? Atau kalau malam ini maut mengetuk pintuku bagaimana? Sedang tugas dan janjiku belum tuntas?"
Batinku berperang. Saling bertanya dan menjawab sendiri segala tanda tanya.
"Baik bu, saya usahakan. Kemarilah, dik!"
Kugamit tangan mungilnya, untuk duduk di sebelah Daffa.
"Namanya Ririn, nak." ujarnya memberi tahu nama sang adik.

"Baik bu, serahkan semua pada Allah. Semoga waktunya tepat untuk belajar Yasin bagi Ririn."
"Baik, nak. Berapapun akan ibu bayar, asal Ririn bisa baca yasin"
Beliau mengeluarkan amplop putih. Tebal. Amplop tersebut disobek. 3 lembar merah soekarno-hatta keluar dari balik amplop.
"Ini nak, sebagai uang pangkal."
Sembari menyerahkan 3 lembar kepadaku.
"Aku kan tidak dibayar, dan tak boleh menuntut bayaran!"
Batinku kembali berkecamuk.
"Ibu, simpan saja uangnya, bukan saya tdk mau dibayar, hanya saja, saya tak mau niat mengajar saya berubah dari pengabdian menjadi pengharapan. Masih banyak yg bisa ibu lakukan untuk Ririn dengan uang itu."
Jawabku mantap. Sebenarnya sedikit menyesal menolak rezeki (yang mungkin datang dari Allah). Hanya saja, ilmu, tak mungkin dihargai beberapa lembar uang.
"Baiklah nak, ibu hanya ingin, di usia tua ini, ibu hanya ingin melihatnya bisa baca yasin. Hanya itu kebahagiaan terbesar ibu. Tolong nak, wujudkan harapan itu. Tolong nak, biarkan ibu mati dengan tenang."
Matanya sembab. Kantung mata keriput itu basah. Ririn tertunduk. Diam. Mematung. Sepertinya ada beribu penjelasan dan tanda tanya yang ingin Ririn utarakan. Namun, batinnya masih belum mampu. Pikirannya masih belum sampai.
"Baik, bu. Ririn bisa ibu tinggalkan disini, nanti setelah Isya bisa Ibu ambil."
"Baik, nak. Ibu pamit dulu. Telpon ibu bila butuh sesuatu."
Beliau bangkit. Lututnya bergetar, efek sudah tua mungkin ya?
Sembari mengucap salam, sandal Swallownya diseret perlahan. Meninggalkanku yang masih berperang batin.
Ririn. Kupandangi beberapa saat. Mirip sekali seperti anak tetanggaku yang kurawat. Wajahnya teduh. Tenang, walau banyak harapan ibunya yang tergantung diatas pundak perempuan kelas 3 SD itu.
Lalu pandanganku menyapu seluruh mata anak TPA.
Beribu harapan mungkin tersimpan dalam benak orang tua mereka. Hanya saja, harapan itu tak pernah terungkap.
Bila aku tahu semua harapan itu, berapa ratus kali aku harus berperang batin?
Cukuplah perang batin malam ini.
Seorang ibu datang, memohon agar anaknya mampu mengeja hijayyah, agar hijayyah nanti mampu tersusun menjadi surat Yasin.
"Kak, aku bacanya sampai mana?".
Aku terbangun dari lamunan. Daffa belum selesai membaca.
"Eeeh, oh iya.. Sampai sini, coba dibaca lagi."
Kho.. Khoyaro..
Roghoo.. Roghoba..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidur Berkualitas: Fondasi Kesehatan dan Produktivitas

Cara Sederhana Mencegah Penyakit Menular di Lingkungan Kampus

Pengaruh Keberadaan Ruang Interaksi Komunitas Universitas (RIKU) terhadap Kesehatan Mental