HUJAN DAN KEBENCIAN
Karya
: Afikha Alwayz
Hari
ini, ayah pergi pagi-pagi sekali. Entah apa yang akan dibuatnya di petakan
sawah milik orang yang ia garap. Apakah ia akan mencangkul tanah yang tandus
karena kemarau sepanjang dua bulan ini, atau ia hanya akan meratapinya. Sudah
kulihat beberapa minggu terakhir ini wajah ayah murung. Garis garis penuaan itu
semakin jelas terbentuk. Guratan dahinya semakin jelas memperlihatkan pengharapan
akan turunnya hujan.
“jangan
lupa angkat matikan tungku setelah bubur itu matang nak. Nanti klu ayah belum
pulang jaga adikmu baik-baik yah” ucap ayah
“iya
ayah” seruku dari balik pintu rumah. Sembari memperhatikan sepeda ayah yang
perlahan meninggalkan teras rumah.
Aku
kemudian berjalan menuju kamarku, adikku Naira yang baru berusia 6 tahun masih
tertidur pulas. Wajahnya yang polos mengingatkanku pada sosok wanita itu, Ibu.
Beliau meninggal kan kami tiga tahun silam, memilih berpisah dengan ayah yang
berpenghasilan rendah dan menikah dengan juragan sapi dari desa sebrang. Semenjak
itu, Ibu tak pernah menemui kami lagi. Mungkin karena hidupnya telah enak sehingga ia benar-benar lupa akan kami.
Aku
berusaha menghilangkan bayang-bayang tentang Ibu, meski didalam hatiku
merindukan sosoknya. Ia yang memelukku ketika aku ketakutan, ia yang mengusap
kepalaku dan berdongeng ala kadarnya sebelum aku tidur. “haaaah sudahlah”
gumamku.
Aku
beranjak kedapur, mematikan tungku dan menyiapkan bubur di mangkok. Seperti
biasa, ayah hanya memasak untuk aku dan Naira. Aku yakin karena persediaan
beras kami semakin menipis sehingga ayah akan berpuasa.
“tok...tok...tok...”
bunyi ketukan pintu yang sedikit mengejutkanku.
“siapa
??” tanyaku, tak ada jawaban disana. Aku melangkah menuju pintu dan bergegas
membukanya. Dan ternyata, sekarung beras dan beberapa bahan makanan lainnya.
Ini rutinitas yang kudapati setiap awal bulan. Selalu ada pemberian yang tak
kuketahui pemberiaan siapa. Aku memasukan barang-barang itu kedalam rumah.
Namun biasanya ketika ayah pulang, ia akan membawanya ke panti di seberang
jalan besar. Ayah tak pernah mau menerima bantuan dari siapapun. Bagi Ayah, keluarganya
adalah tanggung jawabnya yang harus ia penuhi sendiri. Namun kali ini, ada yang
berbeda. Aku menemukan selembar kertas didalam bingkisan itu “ jaga adikmu ya
Namira”
Deg..
jantungku berdegup, seperti pesan ayah sebelum berangkat.
“Ah
mungkin kebetulan” ucapku
Aku
bersiap menuju sekolahku yang letaknya tak jauh dari rumah, namun ketika hendak
keluar dari pintu. Hujan deras tiba tiba mengguyur desaku. Beriringan bersama
halilintar dan hembusaan angin yang begitu kencang. Aku segera menutup pintu
dan menguncinya. Menutup jendela-jendela yang sebelumnya terbuka. Memastikan
pintu belakang tertutup dan segera kekamar menemui adiku yang ternyata masih
tertidur pulas. Suara genteng berbunyi dengan nyaring menyesakkan telinga.
”Ayah...”
seruku
Aku
teringat akan Ayah yang berada diluar sana. Aku mencemaskannya, tapi bukankah
ini yang ia mau. Hujan yang dapat mengairi tanah, yang akan menyuburkan tanaman
tanamannya agar cepat panen. Hujan yang akan memberikannya uang untuk membeli
beras.
“tok..tok...tok...”
suara ketukan untuk kedua kalinya.
Aku
membuka pintu dan berharap itu ayah, ya... benar Ayah. Namun kali ini ia
bersama para warga. Kenapa ??? Ayah yang berlumurang darah digotong pada warga.
“Ayahmu
tadi terpeleset ketika hujan Nam, ia terburu-buru ke ladang setelah
mengantarkan sembako untukmu”.
Jadi,
sembako ini dari ayah. Dan hujan... dan semuanya.... dunia terasa gelap bagiku,
“Aku benci hujan......” teriakku dalam kegelapan.
Komentar
Posting Komentar