Tujuh Tahun
20.00
Cafe ini indah.
Bercorakkan warna coklat berhias lampu yang sangat menyejukkan mata. Cafe yang
berada di tengah kota ini terlihat sangat strategis dengan banyaknya pengunjung
yang datang. Aku hanya sendiri di meja B6. Hanya sendiri menikmati malam yang
semakin mulai larut. Sepenuhnya tidak sendiri, karena aku tengah menunggu seseorang
yang mungkin sampai saat ini masih terasa sangat istimewa. Hari ini tepat 7
tahun 8 bulan 10 hari aku mengenalnya. Aku memang akan selalu ingat kapan pertama
kali bertemu dengannya.
“Brakk..”
“Haduh, roboh
semuaaa..” teriakku panik melihat sepeda yang mulai jatuh satu persatu.
“Waduh Vitaa..
hati hati dong. Jadi perempuan itu yang halus, pelan pelan kalau ambil sepeda.”
Ucap Dea yang sedari tadi berada disampingku.
“Iya Dee, ini
juga udah paling pelan.” Kataku kesal.
“Haduh, kamu itu
ya, yaudah sini aku bantuin. Tapi PR buat kamu yaa, lebih lembut sedikit jadi
perempuan.”
Aku hanya
mengangguk dengan omelan Dea. Yaa.. ku akui, memang aku sangat kurang halus
sebagai seorang perempuan. Tak ada seorang teman pun yang mengatakan aku adalah
seorang yang halus bahkan lembut sekalipun. Aku membenci suatu yang lelet.
“Ada yang bisa
dibantu?”
Aku menoleh.
Didepanku tepat berdiri seorang cowok yang cukup membuatku terkejut-Dimas.
Cowok yang sedari pertama bertemu, aku perhatikan setiap tingkahnya.
“Ah, gak perlu.
Jangan sok baik”
“Loh, dibantuin
kok gitu jawabnya?”
“Yaudah,
pokoknya kamu jangan sok baik.”
“Dasar aneh !!
cewek kok ya gak ada sisi feminimnya.”
“Apa kamu
bilang?” kataku sambil mengepalkan tangan.
Dea terheran
melihat tingkahku. Aku yang harusnya senang diperhatikan Dimas, malah
bertingkah konyol dikala dia menyapa.
“Maafkan temenku
ya.” Kata Dea sembari menarik tanganku yang sudah seperti seorang petinju.
“It’s ok, cuma
aneh aja. Ada cewek sekasar temen kamu ini.”
“Apa kamu bilang?
Kamu jangan banyak omong ya, pergi sana.” Kataku
“Yaudah, bye
cekar, cewek kasar.”
“Huuuuu..
dasaaaar.” Teriakku melihat Dimas yang mulai beranjak pergi.
“Kamu kenapa sih?
Ga jelas banget.”
“Yaudah, aku
benci cowok sok baik.”
Perbincangan
dengan Dimas siang itu sudah cukup membuatku bahagia. Rasa kesal dihadapannya
sebenarnya hanya untuk menutupi gerogiku. Mulai saat itulah, aku mengenal
Dimas. lelaki yang sangat baik dan menjadi sahabat yang selalu ada untukku.
Dimas memang selalu menganggapku sahabat karibnya, namun perasaan diawal
bertemu, tak pernah bisa hilang dari hatiku. Aku mencintai Dimas. Dimas yang
sering menyebutku Cekar. Mungkin panggilan yang sangat menyebalkan. Namun,
panggilan itulah yang membuatku selalu dag dig dug mendengarnya terlontar dari
mulut lelaki yang telah membuatku jatuh hati.
16.00
Lima tahun sudah
aku mengenal Dimas. Perasaan itu tetap indah. Bahkan lebih dari pertama kita
bertemu. Namun, kabar tidak indah itupun datang dari Dea. Sahabat yang sering
menemaniku mengirim surat kaleng ke Dimas ternyata hari ini jadian dengan
Dimas.
“Vita maafkan
aku.”
Aku hanya bisa
diam mendengar Dea mengatakan hal itu. Namun apalah daya, mereka memang kusadari
saling mencinta sejak dulu dan Dimas sekarang telah memilih Dea. Perempuan yang
lebih cantik, lebih anggun dan lebih lembut dariku. Dimas memang tidak pernah
salah pilih.
“Vitaa.. maafkan
akuu.”
“Gak apa-apa kok
Dea. Aku juga sudah mulai tidak suka dengan Dimas. Kalian langgeng yaa.”
Sejak saat itu,
aku mulai mencoba untuk menghilangkan setiap rasa dan melupakan semua kenangan
dengan Dimas.
21.00
Lelaki yang
sudah mengisi hatiku selama 7 tahun itu pun datang. Tidak banyak yang berubah
darinya. Masih sangat indah dipandang.
“Vita, maaf
telah menunggumu lama. Aku memintamu untuk datang kemari karena ada hal yang
ingin aku sampaikan.”
“Sok resmi. Ngomong
aja langsung.”
“Kamu ga berubah
ya dari dulu. Tetap Cekar yang aku kenal. Haha.“ Kata Dimas menggodaku.
“Buruan ngomong,
aku buru buru.”
“iya deh iya
cantik.” Pertama kalinya Dimas mengatakan aku cantik.
“Vitaa...
setelah aku sadari, ternyata seorang yang selalu ada untukku adalah kamu. Di
depanmu aku menjadi diriku sendiri.”
“Maksudmu apa?”
“Andaikan ada
dua titik, apakah kau mau menemaniku dalam garis ini?”
“Kamu jangan
bercanda deh. Kamu udah punya Dea.”
“Aku baru sadar,
kamu yang seharusnya menempati posisi Dea, Cekar.”
“Lalu Dea?”
“Aku putus sama
Dea. Jika kamu tak mempercayainya, aku
bisa menelfon dia sekarang.”
Aku syok dengan
semua yang dikatakan Dimas.
“Kamu gila
Dim!!”
“Maafkan aku
Cekar, tapi inilah yang aku rasa.”
“Maafkan aku
juga, aku sudah memiliki yang lain.”Ungkapku.
Aku memang masih
mencintaimu Dimas. Namun cinta bukan hanya soal bersabar memahami keadaan yang cinta,
tetapi cinta juga mengajarkan harga diri. Tidak semudah itu kamu melepaskan dan
menangkap hati yang baru. Meskipun hati itu tetap bersarang namamu. Waktu tujuh
tahun bukanlah waktu yang singkat untuk berakhir dengan semaumu.
Oleh: Fildah Rusdina
Komentar
Posting Komentar