Sudah Efektifkah Penerapan K3 di Rumah Sakit?
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
yang termasuk dalam suatu wadah hygiene perusahaan dan kesehatan kerja
(hiperkes) terkadang terlupakan oleh para pengusaha atau manajemen. Keselamatan
dan kesehatan kerja bukan hanya untuk industri tetapi untuk seluruh pegawai
disetiap tempat kerja, begitu juga di sektor pelayanan kesehatan. Di Indonesia,
sampai saat ini belum banyak peraturan keselamatan dan kesehatan kerja di
laksanakan dirumah sakit.
Sebaliknya jika melihat definisi tempat kerja berdasarkan UU No. 1 tahun 1970
pasal 1 ayat 1tentang keselamatan kerja menyatakan "Tempat Kerja"
ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap,
dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki kerja untuk keperluan suatu
usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana
diperinci dalam pasal 2; Termasuk Tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan,
halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan
dengan tempat kerja tersebut.
Kecelakaan kerja dan sakit di tempat kerja membunuh dan memakan lebih banyak
korban jika dibandingkan dengan perang dunia. Riset yang dilakukan badan dunia
ILO tahun 2000 menyatakan angka kematian akibat penyakit menular yang
berhubungan dengan pekerjaan laki-laki sebesar 108-256 jiwa dan perempuan
berkisar 517-404 jiwa, setiap hari rata-rata
6.000 orang meninggal,
setara dengan satu orang setiap detik, atau 22 juta orang pertahun akibat sakit
atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang
meninggal dua kali lebih banyak ketimbang wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan
pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah
menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam
pekerjaan seperti membongkar zat kimia beracun.
Survey nasional di 2.600 rumah sakit di
USA rata-rata tiap rumah sakit 68 karyawan cedera dan 6 orang sakit (Hamzah, 2005). Cedera tersering adalah strain dan
sprain, luka tusuk, abrasi, contusio, lacerasi, cedera punggung, luka
bakar dan fraktur. Penyakit tersering adalah gangguan pernapasan, infeksi,
dermatitis dan hepatitis. Hasil identifikasi
hazard RS ditemukan adanya gas anestesi, ethylen oxyde dan cytotoxic
drug.
Di Indonesia, data mengenai penyakit
akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja di sarana kesehatan secara
umum belum tercatat
dengan baik, namun
menurut Depkes (2007)
diketahui bahwa resiko bahaya
yang dialami oleh
pekerja di rumah
sakit adalah infeksi
HIV (0,3%), risiko pajanan membaran mukosa (1%), risiko
pejanan kulit (< 1%), dan sisanya tertusuk jarum, terluka akibat pecahan gigi yang tajam dan
bor metal ketika melakukan pembersihan gigi, low back paint akibat mengangkat
beban yang melebihi
batas, gangguan pernafasan,
dermatitis, dan hepatitis (Anonim dalam Novie, 2011).
Rumah sakit sebagai unit pelayanan
kesehatan sudah semestinya memperhatikan kenyamanan dan kondisi tenaga
kesehatan serta sistem manajemen pelayanan khususnya manajemen sumber daya
manusianya. Manajemen sumber daya manusia yang baik akan berdampak pada
keberhasilan rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada
masyarakat. Adanya asumsi bahwa tenaga kerja di rumah sakit sudah tahu dan dapat mempertahankan kesehatan
dan melindungi dirinya serta dianggap lebih mudah melakukan konsultasi
dengan dokter atau
mendapatkan fasilitas perawatan secara informal, menjadikan penerapan K3 di
rumah sakit seolah-olah dipinggirkan(Nurfitriani et al., 2014).
Padahal penerapam K3 di rumah sakit haruslah diperhatikan dengan serius
mengingat potensi bahaya yang bisa merugikan pihak rumah sakit, tenaga kesehatan
maupun pasien.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perlindungan tenaga kerja.
Dengan menerapkan K3, suatu perusahaan atau industry dapat menghindarkan diri
dari kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan.
Menurut permenaker No.OS/Men.l996 tentang sistem manajemen Keseiamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) bab III pasal 3 menyatakan bahwa setiap perusahaan yang
mempekerjakan lebih dari 100 orang atau lebih dan atau mengandung potensi
bahaya wajib menerapkan sistem manajemen K3, hal ini juga tertuang daiam UU
Kesehatan no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan khususnya pasal23 tentang
kesehata kerja. Setiap tenaga kerja, berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan dan kesehatannva sehingga perlu dilakukan upaya untuk membina
norma-norma perlindungan Kerja yang diwujudkan dalam undang-undang dan
peraturan K3. Demikian disebutkan Ristiono (2009).
Pekerja Rumah Sakit mempunyai risiko
lebih tinggi dibanding pekerja industri lain untuk terjadinya Penyakit Akibat
Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK), sehingga perlu dibuat standar
perlindungan bagi pekerja yang ada di Rumah Sakit. Untuk mencegah dan
mengurangi resiko bahaya tersebut maka perlu ditetapkan standar K3 di Rumah
sakit. Perlunya pelaksanaan K3RS mengenai kebijakan pemerintah tentang Rumah
Sakit di Indonesia adalah untuk meningkatkan akses, keterjangkauan, dan
kualitas pelayanan kesehatan yang aman di Rumah Sakit.
Kecelakaan kerja yang terjadi pada
petugas kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, Faktor penyebab yang sering
terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan
pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja,
sehingga, menurut Salmawati (2014), tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia serta
kurangnya motivasi kerja dan tingginya.
Komentar
Posting Komentar