Mozaik: TK Muslimat 27
Sesekali kita sering melupakan hal-hal yang konyol nan memalukan di masa lampau. Kita anggap semua itu hanya kesia-siaan masa kecil, ataupun momen-momen konyol yang muncul secara jujur dari dalam hati kita masing-masing. Momen indah dalam hidup manusia Indonesia, terutama masyarakat segmen kota, adalah masa kecil mereka yang dilepas dalam Taman Kanak-Kanak. Pernahkan kita sempat mengingatnya, mencoba merekonstruksi pikiran-pikiran kita, menghafal kembali sosok teman-teman kita yang bisa dikatakan sama-sama konyol waktu itu? Hal semacam itu tentu hanya bisa ditemui dalam TK yang berkembang dari masyarakat, yang penduduknya pun juga berasal dari masyarakat itu sendiri.
Kenangan ini mungkin tertambat di sebuah TK yang
bernama TK Muslimat NU nomor 27 Kota Malang.
Masih bisa dideskripsikan dengan jelas, bagaimana
bentuk bangunan kala itu. TK yang tersudut di belakang langgar Darussalam di ujung jalan, kemudian
letaknya bersebelahan dengan seorang pengusaha rujak di Kota Malang, dan barang-barangnya
pun amat sederhana. Masih teringat crayon oil pastel, plastisin
mainan, robot-robot lusuh, jungkat-jungkit yang lapuk, seluncuran yang dimakan
rayap, ruangan yang ramai dengan candaan, tangisan anak kecil, dan doa-doa
indah setiap akan memulai makan siang, semua membekas dalam hati. Ya,
deskripsi-deskripsi indah yang mungkin tak akan bisa kembali lagi. Kebanggaan
ketika tiba Hari Kartini, kami memakai pakaian adat dan profesi yang
berwarna-warni, ah, semua hanyalah kenangan masa kecil.
Maka segala teori tentang keceriaan masa kecil itu
memang ada benarnya.
Kembali ke sebuah TK sederhana di ujung jalan menuju
rumahku. Kami bersorak-sorai ketika ada angkutan kota berwarna biru melewati
depan sekolah kami, kemudian jam-jam ketika kami diminta oleh ibu-ibu guru yang
berperikeibuan untuk kembali masuk kelas, membaca doa sebelum belajar, mengeja
huruf, menggambar rumah dengan formasi segitiga-persegi, berebut pensil butut
yang bisa diambil isinya karena merasa keren, semua hanya soal masa lalu.
Kekuatan besar TK kebanggaan warga Gading Kasri itu
adalah kader penggeraknya. Empat srikandi yang tiada berhenti mengabdi untuk
kebaikan generasi penerus warga Gading. Tak terbilang berapa generasi yang
telah terdidik lewat tangan dingin mereka, entah hanya menjadi sosok
penyeberang anak sekolah, tukang parkir, penambal ban di Pasar Besar Malang,
pedagang rokok, keempat formasi pendidik TK Muslimat itu
tidak bergeming, dan tetap menghargai apa yang dilakukan murid-muridnya saat
ini. Mereka mendidik dengan hati bukan untuk sebuah project organisasi,
pembuktian eksistensi kaum feminis, sama sekali tidak. Ibu-ibu Muslimat tangguh
ini hanya mengurusi pendidikan anak-anak, musholla wanita di gang sempit itu,
yang kian sepi dari pemudinya yang makin sibuk dan menempuh pendidikan di
sekolah-sekolah yang bergengsi. Pendidikan Al Qur’an hanya
untuk anak-anak kecil. Musholla itu
masih tak berubah, dan pengurusnya sama sekali tak bergeser.
Ibu-ibu itu juga menggerakkan kekuatan penabuh rebana
di daerah Gading Kasri. Setidak-tidaknya warga Gading Kasri yang bahkan acuh
sama sekali dengan agama, sangat bersemangat ketika ada tabuhan rebana di
sekitarnya. Kepercayaan warga akan hal-hal klenik mungkin irasional, namun
jelas hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan tentu terkonsepkan dalam tataran
ilmu-ilmu sosial terapan di realita yang ada.
Penulis tak tahu sampai kapankah TK Muslimat itu
tetap menyebarkan nilai-nilai Islam yang membumi dan merakyat, tanpa tendensi
program kerja ataupun tujuan-tujuan politik. Kader-kader Muslimat itu sudah
menemui masa uzur, dan nampaknya kekurangan kader penerus. Pemudi kampung
sedang sibuk, para Kyai dan Ning yang dulu diasuh beliau telah menempati posisi yang lain di
pesantren-pesantren. Secara pribadi penulis sama sekali tak tahu apa yang
terbersit pada benak mereka. Satu
persatu kader Muslimat tangguh itu, sejak TK berdiri, hingga hari ini, telah
banyak orang
yang meninggalkan TK Muslimat di ujung Jalan Gading, dengan menyimpan kebanggaan
mereka sendiri-sendiri.
Kebanggaan yang sunyi dan tak terungkap.
-Untukmu, ibu-ibu Muslimat NU yang telah menghidupi bangsa selama 70 tahun.
Oleh: Iqbal Syauqi
Komentar
Posting Komentar